Jumat, 19-04-2024
  • [] Berkhidmat pada Sunnah Nabawiyyah sesuai Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah [] "Ketahuilah bahwa ilmu yang tidak menjauhkanmu dari maksiat dan mendorongmu untuk beribadah pada hari ini, tidak akan bisa menjauhkanmu dari api neraka esok hari." (Imam al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad)

Fathimah tidak Haidh?

Diterbitkan : - Kategori : Fikih

Ada beberapa riwayat yang menyebutkan keutamaan Fatimah radhiyallahu ‘anha, yang menjelaskan bahwa beliau tidak mengalami haidh. Diantaranya hadits,

ابنتى فاطمة حوراء آدمية لم تحض ولم تطمث وإنما سماها الله تعالى فاطمة لأن الله تعالى فطمها ومحبيها عن النار

“Putriku Fathimah manusia bidadari. Tidak pernah haidh dan nifas. Allah menamainya Fathimah, karena Allah menyapihnya dan menjauhkannya dari neraka.”

Sebenarnya hadits ini dihukumi dhaif oleh kebanyakan ulama hadits, namun sekedar i’tibar bisa kita perhatikan. Misal ketika menjelaskan contoh masa maksimal suci yang tak terbatas waktu. Ada beberapa wanita yang sucinya lama sekali. Seperti perempuan-perempuan Damaskus. Nah salah satunya juga riwayat Fathimah tersebut di atas, bahwa beliau tidak haidh.

Hadits ini disebutkan al-Kinani dalam Tanzih al-Syariah. Juga dalam kitab fatawa al-Dzahiriyyah di kalangan Hanafiyyah menyebutkan riwayat tersebut.

Itu hanya satu riwayat, hanya cerita keutamaan. Disamping tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau haidh. Tidak ada riwayat haidhnya beliau memang bukan berarti tidak terjadi haidh. Para ulama lainnya kembali kepada dalil umum bahwa setiap wanita fitrahnya adalah haidh,

إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقْضِي مَا يَقْضِي الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ

“Sesungguhnya haidh adalah perkara yang telah Allah tetapkan untuk putri Adam. Lakukan seperti yang dilakukan jama’ah haji, hanya saja kamu tidak boleh thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi, meski riwayat tidak haidhnya Fathimah didhaifkan oleh kebanyakan ulama hadits, tetapi untuk mengambil “ibarat/ungkapan” kisah masih bisa, karena dalam sejarah kriteria hadits dibuat longgar sebagaimana kaidah dari Imam Ahmad. Adapun dalam perkara fiqih (halal dan haram) harus ketat. Dan riwayat Fathimah di atas tidak sedang menjelaskan fiqih maksimal masa suci. Karena itu dalil dan manathnya berbeda lagi.

[Yuana Ryan Tresna]

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan