Argumentasi utama moderasi beragama yang selanjutnya menjadi moderasi Islam adalah ide tawassuth (pertengahan).
Tawassuth (pertengahan). Menurut penggagasnya, tawassuth dimaknai dengan sikap tengah-tengah, sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
Dalil yang biasa digunakan adalah al-Quran surat al-Baqarah ayat 143. Hanya saja, banyak yang harus diluruskan dalam memahami ayat ini. Allah SWT berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (QS. al-Baqarah [2]: 143).
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ummat[an] wasath[an] dan bagaimana kedudukan yang sebenarnya? Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang mengarah pada pengertian suatu yang berada di tengah. Hal itu dapat kita jumpai dalam pendapatnya Ibnu ‘Asyur, al-Asfahani, Wahbah al-Zuḥaili, al-Thabari, Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Lantas apa yang dimaksud dengan tengah-tengah?
Dalam memaknai sebuah lafazh, imam al-Thabari seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Riwayat tersebut adalah,
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا .
“Dari Abi Sa’id al-Khudri ra. dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasath[an]”. Beliau berkata: (maknanya itu) adil.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Selain bermakna adil, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan. Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw. sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi atas umat manusia. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab berkonotasi al-khiyâr (pilihan), dan orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil.
Berdasarkan pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya ada dua sebab, yaitu: Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik. Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu bermakna umat pilihan dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), yakni umat yang adil dengan menegakkan ajaran Islam. Bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Dengan demikian memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat (pertengahan) antara benar dan salah adalah penyesatan.
[Yuana Ryan Tresna]