Kamis, 18-04-2024
  • [] Berkhidmat pada Sunnah Nabawiyyah sesuai Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah [] "Ketahuilah bahwa ilmu yang tidak menjauhkanmu dari maksiat dan mendorongmu untuk beribadah pada hari ini, tidak akan bisa menjauhkanmu dari api neraka esok hari." (Imam al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad)

TALAK BID’I, BOLEHKAH DIULANG?

Diterbitkan : - Kategori : Fikih

Soal:

Ustaz, apa yang dimaksud dengan talak bid’i, apakah sah talaknya, dan apakah bisa diulang? (Hamba Allah, Bandung)

Jawab:

Talak atau perceraian adalah terlepasnya ikatan perkawinan antara suami-istri, baik karena ungkapan talak sang suami, ungkapan tak disadarinya, maupun karena gugatan sang istri melalui pengadilan.

Meski bukan perkara yang haram, namun perceraian adalah hal yang harus diwaspadai. Perceraian adalah lepasnya ikatan dan runtuhnya bangunan keluarga. Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki menjelaskan hal ini dalam kitabnya, Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah hlm. 9.

Talak memiliki sejumlah syarat dan ketentuan, sehingga ia menjadi sah atau jatuh kendati tak disadari orang yang menjatuhkannya. Para ulama fiqih melihat syarat dan ketentuan talak ini dari tiga aspek, yaitu: dari aspek yang menjatuhkan (yaitu suami), dari aspek yang ditalak (yakni istri), dan dari aspek ungkapan atau redaksi talak.

Pertama, yang menjatuhkan talak adalah suami yang sah, baligh, berakal sehat, dan menjatuhkan talak atas kemauannya sendiri.

Terkait suami yang hilang kesadaran, imam al-Syairazi dalam al-Muhadzab, jilid 3, hlm. 3 menjelaskan beberapa yang menjadi penyebabnya,

فأما من لا يعقل فإنه لم يعقل بسبب يعذر فيه كالنائم والمجنون والمريض ومن شرب دواء للتداوي فزال عقله أو أكره على شرب الخمر حتى سكر لم يقع طلاقه لأنه نص في الخبر على النائم والمجنون وقسنا عليهما الباقين وإن لم يعقل بسبب لا يعذر فيه كمن شرب الخمر لغير عذر فسكر أو شرب دواء لغير حاجة فزال عقله فالمنصوص في السكران أنه يصح طلاقه

“Adapun orang yang tidak sadar, jika tak sadarnya karena sebab yang dimaafkan, seperti orang yang sedang tidur, tunagrahita, sakit, dan minum obat guna mengobati penyakitnya, sampai hilang kesadaran akalnya, atau dipaksa minum khamr sampai mabuk, maka ia tidak jatuh talaknya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash hadits tentang orang tidur dan orang tunagrahita. Maka kita analogikan saja yang lain kepada keduanya. Selanjutnya, jika seseorang hilang kesadaran akalnya karena sebab yang tidak dimaafkan, seperti orang yang minum khamr tanpa alasan sampai mabuk, atau minum obat tanpa ada kebutuhan, sehingga hilang kesadaran akalnya, maka menurut pendapat (nash) yang telah ditetapkan tentang orang mabuk, jatuhlah talaknya.”

Begitu pula orang yang dipaksa menjatuhkan talak juga perlu dilihat paksaannya: apakah hak atau tidak. Jika paksaannya hak seperti paksaan hakim di pengadilan, maka talak yang dijatuhkannya adalah sah. Sama halnya dengan keputusan cerai yang telah diputuskan oleh hakim pengadilan.

Imam al-Syairaji merinci kriteria paksaan tersebut: (1) pihak yang memaksa lebih kuat dari yang dipaksa, sehingga tak bisa ditolak; (2) berdasarkan dugaan kuat, jika paksaan itu ditolak, sesuatu yang ditakutkan akan terjadi; (3) paksaan akan diikuti dengan sesuatu yang lebih membahayakan, seperti pemukulan, pembunuhan, dan seterusnya.

Pertanyaannya, bagaimana dengan talak orang yang marah? Syekh Zainuddin al-Maibari menyatakan dalam Fathul Mu‘in, hlm. 112,

واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب

“Para ulama sepakat akan jatuhnya talak orang yang sedang marah, meskipun ia mengaku hilang kesadaran akibat kemarahannya.”

Kedua, istri yang ditalak harus dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, yang kemudian talaknya dikenal dengan “talak sunnah” dalam arti talak yang diperbolehkan. Sedangkan istri yang ditalak dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah dicampuri, dikenal dengan “talak bid‘ah/bid’i” dalam arti talak yang diharamkan.

Kedua jenis talak ini berlaku bagi istri yang masih haidh. Berbeda lagi kasusnya bagi istri yang tidak haidh, seperti istri yang belum haidh, istri yang sedang hamil, istri yang sudah menopause, atau istri yang ditalak khuluk dan belum dicampuri.

Talak yang dijatuhkan saat istri sedang suci, maka ia langsung menjalani masa iddah, sehingga masa iddahnya menjadi lebih singkat. Berbeda halnya, jika talak dijatuhkan saat istri sedang haidh, meskipun tetap sah, maka masa iddahnya menjadi lebih lama karena dihitung sejak dimulainya masa suci setelah haidh. Demikian pula jika istri ditalak dalam masa suci tetapi setelah dicampuri, maka kemungkinan untuk hamil akan terbuka. Jika itu terjadi, maka masa mengandung hingga melahirkan akan menjadi masa iddahnya.

Ketiga, redaksi talak yang dipergunakan bisa berupa ungkapan yang jelas (sharih), bisa juga berupa ungkapan sindiran (kinayah). Maksud ungkapan jelas di sini, tidak ada makna lain selain makna talak. Sehingga meskipun seseorang tidak memiliki niat untuk menjatuhkan talak dalam hati, jika yang dipergunakan adalah ungkapan sharih maka talaknya jatuh. Contohnya, “Saya talak kamu,” atau “Saya ceraikan kamu.”

Berbeda halnya dengan ungkapan kinayah. Talaknya akan jatuh manakala ada niat talak dalam hati yang mengucapkanya. Artinya, jika tidak ada niat, maka talaknya tidak jatuh. Contohnya, “Sekarang kamu bebas,” atau “Pergilah kamu ke keluargamu!”

Talak juga jatuh dengan ungkapan senda gurau atau main-main selama disengaja mengucapkannya sekalipun tidak disengaja maknanya (Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I‘anah al-Thalibin, jilid 4, hlm. 8.

Selanjutnya pada kasus talak bid’ah/bid’i, apakah boleh diulang?

Sekali lagi, talak bid’i itu adalah talak yang menyelisihi ketentuan syariat, sehingga hukum talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Namun talaknya tetap sah.

Secara lebih deskriptif, kondisi talak bid’i adalah jika seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh; atau seorang suami mentalak istrinya dalam masa suci setelah ia mencampuri istrinya.

Kembali ke pertanyaan, talak bid’i status talaknya tetap sah (jika diungkapkan secara sharih atau secara kinayah dengan disertai niat), dan tidak bisa diulang. Bisa rujuk jika masih pada masa iddah. Namun harus aqad baru kalau sudah habis masa iddah. Allahu a’lam.

Demikian semoga bermanfaat. Allahu a’lam.

Yuana Ryan Tresna

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan