TEORI QATH’IYYAH AL-WURÛD WA AL-DILÂLAH DALAM SYARAH HADITS

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Pendahuluan

Qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah[1] merupakan salah satu pertimbangan utama dalam berhujjah dan mengambil petunjuk dari Hadits. Suatu Hadits yang qath`iyy al-wurûd wa al-dilâlah wajib diterima dan diamalkan sesuai dengan makna tekstualnya. Kekuatan Hadits ini sejajar dengan Al-Quran yang qath`iyy dl-dilâlah. Sedangkan Hadits yang tidak mencapai tingkat qath`i, melainkan zhanniyy al-wurûdwa qath`iyy al-dilâlah, qath`iyy al-wurûd wa zhanniyy al-dilâlah, atau zhanniyy al-wurûd wa zhanniyy al-dilâlah tidak memiliki kekuatan tersebut sehingga diperlukan sejumlah pertimbangan untuk menerima atau mengamalkannya[2]. Dari aspek wurudnya seluruh ayat Al-Quran wajib diterima, tapi ayat yang zhanniyy al-dilâlah memerlukan ijtihad yang mendalam untuk mengungkap petunjuknya.

Kaidah tersebut berangkat dari kajian ushul fiqh dalam masalah dilâlah yang membagi lafal menjadi dua, yaitu lafal yang jelas petunjuknya (wâdhih al-dilâlah) dan lafal yang tidak jelas petunjuknya (ghayr wâdhih al-dilâlah). Selanjutnya, berdasarkan kategorisasi madzhab Hanafi, masing-masing dari kedua jenis lafal tersebut terbagi menjadi empat tingkat yang saling berlawanan. Lafal yang jelas petunjuknya terbagi menjadi zhâhir, nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal yang tidak jelas petunjuknya terbagi menjadi khafiy, musykil, mujmal, dan mutasyâbih. Urutan penyebutan ini menunjukkan urutan tingkat kejelasan dan ketidakjelasannya.

Lafal yang qath`iyy al-dilâlah adalah lafal muhkam, mufassar, dan sebagian nashsh. Lafal yang demikian tidak bisa terganggu oleh otoritas ijtihad para ulama. Akan tetapi lafal nashsh yang mengandung dua petunjuk atau lebih (musytarak) boleh jadi bukan ma`na azhhar-nya yang dimaksudkan, melainkan makna lainnya. Inilah yang disebut ta’wil, dan ta’wil dapat terjadi terhadap lafal nashsh, meskipun jarang.

Apabila suatu Hadits tidak memenuhi kriteria sebagai Hadits yang qath`iyy al-wurûd, melainkan hanya memenuhi kriteria sebagai Hadits yang zhanniyy al-wurûd, tapi matannya termasuk qath`iyy al-dilâlah, maka para ulama berbeda pendapat; sebagian mereka menyatakan sebagai hujjah yang mutlak, sebagian yang lain menolaknya dan menganggapnya bukan sebagai hujjah yang mutlak.[3] Hadits dha`if yang menjadi kuat karena sanadnya banyak atau sebab lain termasuk dalam zhanniyy al-wurûd. Adapun Hadits dha`if yang tidak ada faktor penguatnya atau dha`if sanad cukup parah dapat disebut sebagai kelompok Hadits syakkiyy al-wurûd sama sekali bukan hujjah karena hukum Islam tidak mungkin dibangun atas pondasi yang diragukan. Maka Hadits yang demikian disikapi dengan tawaqquf hingga didapatkan alasan hukum yang menghilangkan keraguan terhadapnya.[4]

Oleh karena itu apabila suatu Hadits yang termasuk kategori Hadits zhanniyy al-wurûd berkenaan dengan masalah yang menuntut penyelesaian hukum dan alasan hukumnya atau aspek kemaslahatannya sesuai dengan petunjuk Hadits itu, maka hal itu menjadi indikasi keshahihan matan Hadits tersebut apabila redaksinya termasuk qath`iyy al-dilâlah.[5]

Hal tersebut di atas merupakan salah satu fenomena bahwa teori yang dalam kajian ushul fiqh terkesan final, namun dalam aplikasinya tidak sederhana. Oleh sebab itu, suatu Hadits tidak dapat dianggap sebagai dalil tunggal untuk masalah yang bersangkutan sebelum dikaji dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut, karena dalil-dalil mengenai suatu masalah merupakan satu kesatuan, sehingga semuanya harus dikaji secara bersama-sama sekaligus untuk diselesaikan perbedaan petunjuk-petunjuknya. Oleh karena itu, perlu diteliti bagaimanakah para pensyarah Hadits memaknai lafal-lafal Hadits dan mengungkap petunjuk kalimatnya, lalu bagaimanakah pemaknaan dan pengungkapan petunjuk tersebut bila dikaitkan dengan teori qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah.

Qath’iyyah al-Wurud

Ulama madzhab Hanafi membedakan antara Hadits mutawatir dan Hadits ahad dengan tegas. Mereka berpendapat bahwa hanya (ayat atau) Hadits yang qath`iyy al-wurûd wa al-dilâlah yang petunjuknya mempunyai daya ikat penuh dan sama sekali tidak bisa ditolak. Sementara itu Hadits yang mencapai kriteria qath`iyy al-wurûd hanya Hadits mutawatir, sedangkan Hadits ahad tidak mencapai derajat tersebut.[6] Sedangkan ulama lain mengklasifikasi kehujjahan Hadits-Hadits ahad berdasarkan kualitas dan variabel lainnya.

Para fuqaha madzhab Hanafi menyatakan bahwa Hadits ahad secara umum menempati posisi zhanniyy al-wurûd.[7] Tentu Hadits ahad yang posisinya demikian adalah Hadits shahih. Adapun Hadits yang dha`if posisinya lebih lemah lagi. Namun demikian berkenaan dengan Hadits dhaif para ulama terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menerima sepenuhnya termasuk Hadits-Hadits hukum selama tidak terlalu lemah dan tidak ada Hadits lain yang menjelaskan tema yang bersangkutan. Kelompok kedua menerima hanya Hadits-Hadits fadhâ’il al-a`mâl tanpa memastikan. Adapun kelompok ketiga menolak sepenuhnya. Kelompok pertama didukung oleh sejumlah tokoh Hadits terkemuka, seperti Imam Ahmad dan Abu Dawud. Kelompok kedua didukung oleh mayoritas ulama Hadits, seperti Imam al-Nawawi, Ali al-Qari, dan Ibn Hajar al-Haitami. Kelompok ketiga didukung oleh Abu Bakar Ibn al-`Arabi, Syihabuddin al-Khafaji, dan Jalaluddin al-Dawani.[8]

Wujuh al-Dilalah

Secara umum semua lafal yang termasuk dalam katagori ghayr wâdhih al-dilâlah mengandung petunjuk yang zhanniy, sementara itu tidak semua lafal yang termasuk dalam katagori wâdhih al-dilâlah mengandung petunjuk yang qath`iy. Lafal yang dimaksud terakhir adalah lafaz zhâhir dan sebagian lafal nashsh, meskipun kemungkinan takhshish dan ta’wîl pada lafal nashsh lebih kecil. Sehingga lafal nashsh suatu saat mengandung makna qath`iy dan pada saat yang lain mengandung makna yang zhanniy. Sedangkan lafal yang mufassar dan lafal yang muhkam menunjukkan makna yang qath`iy.

Lafal zhâhir adalah lafal yang dengan jelas menunjukkan suatu makna tanpa memerlukan indikator eksternal, namun bukan makna tersebut yang dimaksud, melainkan makna lain yang secara samar diisyaratkan olehnya. Oleh karena itu lafal yang bersangkutan dapat menerima ta’wil atau menunjukkan makna zhanni yang kuat.[9] Bandingan lafal zhâhir adalah lafal yang khafiy. Hukum lafal yang zhâhir wajib dipegangi makna tekstualnya hingga ada petunjuk yang kuat atas taqyîd, takhshish, ta’wil, atau naskh terhadapnya. Apabila lafal yang zhâhir itu mutlak, maka wajib dipegangi kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal zhâhir terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), kecuali apabila ditemukan dalil yang menunjukkan taqyîd, takhshish, atau naskh baginya, atau telah di-ta’wil-kan dengan benar, maka dilalahnya berada pada makna yang tersirat padanya (isyârat al-nashsh).

Sedangkan lafal khafiy adalah lafal yang tidak tegas menunjuk suatu makna serta ada faktor luar yang menjadikan maksudnya samar kecuali dengan penelitian yang mendalam.[10] Kesamaran lafal tersebut terjadi ketika salah satu satuan akan dijadikan acuan baginya ternyata satuan tersebut sangat spesifik atau satuan-satuan yang mungkin dapat dijadikan acuan sangat bervariasi. Jadi lafal tersebut sebenarnya jelas maksudnya secara teoretis, namun samar bagi satuan yang akan dijadikan acuan atau contoh.

Hukum lafal yang khafiy adalah wajib diamalkan atau dipedomani berdasarkan hasil pemikiran ulama dan para ahli dalam tema yang bersangkutan yang dapat mengungkap kesamarannya, seperti pensyarah dan mujtahid. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal khafiy tidak terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat padanya (isyârat al-nashsh) setelah diungkap kesamaran maknanya oleh seorang mujtahid atau pakar dalam tema yang bersangkutan.

Lafal nashsh adalah lafal yang petunjuk maknanya sangat jelas dan searah dengan maksud penyebutannya, namun ia masih mungkin menerima takhshîsh[11] atau ta’wîl dengan kemungkinan yang lebih kecil daripada lafal zhâhir. Atau lafal itu menunjukkan makna yang qath`iy (petunjuknya maknanya pasti).[12]Hukum lafal nashsh adalah wajib diamalkan sesuai dengan makna yang ditunjukkannya secara tekstual, selama tidak ada petunjuk atas adanya ta’wîl atau takhshîsh. Kehujjahan lafal nashsh lebih kuat daripada lafal zhâhir. Lawannya adalah lafal musykil, yaitu lafal yang redaksinya tidak menunjukkan makna yang dikehendaki, sehingga harus ada indikasi dari luar teks agar menjadi jelas apa yang dikehendaki.[13]

Faktor kemusykilan suatu kalimat adalah: a) padanya terdapat kata-kata yang sulit dipahami secara tekstual;[14] b) padanya terdapat kata yang musytarak, yaitu kata yang mengandung banyak kemungkinan makna, sedangkan redaksi kalimat tidak menunjukkan salah satu maknanya dengan tegas; c) ada kalimat lain yang bertentangan.

Hukum lafal musykil pertama-tama dikaji sejumlah makna yang mungkin ditunjukkan oleh lafal yang bersangkutan, lalu dilakukan ijtihad untuk mengungkap indikasi yang menunjukkan salah satu dari makna-makna yang dimaksudkan. Apabila telah ditemukan makna yang dimaksudkannya, maka wajib diamalkan sesuai dengan makna tersebut.[15]

Lafal mufassar adalah lafal yang petunjuknya sangat jelas, sehingga tidak mungkin menerima ta’wîl atau takhshîsh. Kejelasan maksud lafal tersebut adakalanya berupa bilangan yang lazim digunakan dengan makna yang pasti. Adakalanya dipahami dari seluruh rangkaian kalimat. Adakalanya berupa lafal yang telah disepakati sebagai suatu istilah dengan makna dan maksud tertentu.[16]

Lafal mufassar wajib diamalkan sebagaimana petunjuk makna tekstualnya. Penafsiran terhadap Hadits yang mengandung lafal mufassar tidak boleh dipalingkan dari makna tekstualnya. Hanya saja lafal mufassar itu pada masa Rasulullah Saw. dapat menerima naskh. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mufassar terdapat makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) dan tidak menutup kemungkinan adanya dilâlah skunder pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh).

Bandingan bagi lafal yang mufassar adalah lafal mujmal, yaitu lafal yang menunjukkan sejumlah makna dan tidak jelas salah satu makna yang dimaksudkan, sehingga memerlukan penafsiran dan penelitian yang mendalam.[17] Akan tetapi makna-makna tersebut merupakan cakupan dari lafal tersebut dan tidak bertentangan satu sama lain, seperti lafal shalat untuk doa, membaca shalawat, dan shalat yang masyhur.

Lafal mujmal wajib dicari makna yang dimaksudkan oleh pembicaranya, Allah, baik melalui ayat lain, melalui Hadits, maupun melalui penelitian terhadap indikasi yang mengungkap kesamaran lafal tersebut. Apabila tidak diperoleh petunjuk atau indikasi tentang makna yang dimaksudkan, maka wajib dibiarkan dalam ke-mujmal-annya hingga ada petunjuk lain.[18] Apabila ada bayân yang sempurna dan pasti tentang lafal yang mujmal tersebut, maka lafal mujmal tersebut berubah menjadi lafal mufassar, seperti lafal kata shalat, zakat, dan puasa. Apabila ada bayân tentang lafal mujmal tersebut, namun bayan itu tidak menghilangkan ke-mujmal-annya secara tuntas, maka lafal mujmal itu berubah menjadi musykil,[19] sehingga harus diperlakukan sebagai lafal muyskil.

Lafal muhkam merupakan tingkat tertinggi dari lafal yang petunjuknya jelas (wâdhih al-dilâlah). Sedangkan lafal mutasyâbih merupakan tingkat tertinggi dari lafal yang petunjuknya tidak jelas, artinya lafal yang paling tidak jelas maknanya. Lafal muhkam adalah lafal yang menunjukkan suatu makna dengan sangat jelas dan pasti, tidak menerima ta’wîl, takhshîsh, dan naskh. Lafal muhkam pada dasarnya adalah lafal mufassar yang tidak mungkin di-naskh. Keduanya sama-sama jelasnya, tapi kekuatan petunjuk lafal muhkam jauh lebih kuat.[20] Lawan lafal muhkam adalah lafal mutasyâbih.

Ketentuan dalam kalimat yang muhkam wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk tekstualnya, tidak pernah berubah dalam berbagai keadaan. Makna lafal muhkam tidak dapat dipalingkan dari makna lahirnya. Kehujjahan lafal muhkam menempati peringkat tertinggi dibandingkan kehujjahan lafal-lafal yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal muhkam terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) dan tidak menutup kemungkinan adanya dilâlah skunder pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh).

Sedangkan lafal mutasyâbih adalah lafal yang terlalu sulit untuk diketahui maknanya yang dikehendaki. Jadi ia merupakan lafal yang berada pada puncak kesamaran maksudnya.[21] Oleh karena itu lafal mutasyâbih harus disikapi dengan sangat berhati-hati dalam melakukan ta’wîl terhadapnya disertai niat yang tulus dan keyakinan yang kokoh bahwa maksud Rasulullah Saw. dengan lafal tersebut pasti benar, hanya saja kita belum bisa sepenuhnya menangkap maksud tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lafal-lafal yang menunjukkan makna yang qath`iy al-dilâlah adalah lafal-lafal yang dilalah primernya terletak pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), yaitu lafal-lafal yang nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal-lafal yang menunjukkan makna yang zhanniy adalah lafal-lafal yang dilâlah primernya tidak terdapat pada makna tekstualnya, melainkan pada makna tersiratnya (isyârat al-nashsh).

Macam-macam karakter lafal tersebut di atas menuntut ketelitian dan kesungguhan para peneliti dan pensyarah dalam memahami makna dan maksud setiap lafal dalam Hadits dengan segala karakternya agar dapat mengambil dilâlah dari setiap Hadits yang dihadapinya dengan tepat. Selain itu mereka dituntut untuk mengembangkan pemahaman dilâlah Hadits seluas-luasnya dengan menggunakan seluruh indikasinya, menganalisis keluasan makna lafal dengan menghimpun seluruh satuan yang tercakup di dalamnya, dan mengidentifikasi sejumlah faktor yang menjadi pijakan implementasinya.

Memahami macam-macam dilâlah lafal merupakan modal yang sangat penting dalam mensyarah Hadits dan mengambil berbagai kesimpulan darinya. Kajian ini dirumuskan oleh para ulama ushul fiqh dalam kaitannya dengan penyusunan ushûl al-istinbâth, ushûl al-tafsîr, ushûl al-istidlâl, dan ushûl al-tasyrî`.[22]

Di kalangan ulama madzhab Hanafi dikenal empat pendekatan dalam mengambil dilâlah, yaitu `ibârat al-nashsh, isyârat al-nashsh, dilâlat al-nashsh, dan iqtidhâ’ al-nashsh. Istilah keempat macam dilâlah tersebut sering juga disebut dengan dilâlatal-`ibârahdilâlat al-isyârah, dilâlat al-nashsh, dan dilâlat al-iqtidha’. Sedangkan di kalangan ulama madzhab Syafi`i dikenal dua macam dilâlah, yaitu dilâlat al-manthûq dan dilâlat al-mafhûm. Masing-masing terbagi menjadi dua, yaitu dilâlat al-manthûq al-sharîhah dan dilâlat al-manthûq ghair al-sharîhah serta dilâlat al-mafhûm muwâfaqah dan dilâlat al-mafhûm mukhâlafah. Selanjutnya dilâlat al-mafhûm muwâfaqah dibagi menjadi dua, yaitu fahwâ al-khithâb dan dalil al-khithâb.[23]

`Ibârat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas makna yang segera dipahami secara tekstual, baik makna aslinya maupun makna yang datang kemudian. Isyârat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas makna yang tidak segera dipahami secara tekstual, namun merupakan konsekuensi logis dari makna tekstualnya. Dilâlat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas berlakunya makna lafal atas makna yang tidak terucap karena adanya faktor kesamaan yang menjadi alasan pemberlakuan tersebut (identik dengan teori qiyâs). Sedangkan iqtidhâ’ al-nashsh adalah petunjuk lafal atas keharusan adanya sesuatu (lafal atau harf) yang tidak terucap dan sesuatu itu menjadi kunci bagi pemahaman lafal tersebut.[24] Singkatnya `ibârat al-nashsh adalah petunjuk tekstual, isyârat al-nashsh adalah petunjuk yang tersirat dibalik makna tekstual, dilâlat al-nashsh adalah petunjuk kontekstual sebagai langkah pengembangan dengan prinsip qiyas, dan iqtidhâ’ al-nashsh adalah pemahaman yang dieroleh melalui hadirnya kata kunci ekstern yang dihadirkan kerena tuntutan struktur makna kalimat.

`Ibârat al-nashsh identik dengan dilâlat al-manthûq al-sharîhah, isyârat al-nashsh identik dengan dilâlat al-manthûq ghair al-sharîhah, dilâlat al-nashsh identik dengan dilâlat al-mafhûm yang dibagi menjadi dua, yaitu fahwâ al-khithâb (qiyas jaliy maupun qiyas khafiy) dan dalil al-khithâb (mafhûm mukhâlafah), meskipun para ulama madzhab Hanafi menolak teori dalîl al-khithâb. Sedangkan iqthidhâ’ al-nashsh identik dengan lahn al-khithâb. Keterangan di atas menunjukkan bahwa perbedaan antara ulama Hanafiyah dan Syafi`iyah dalam konsep dilâlah terletak pada dilâlat al-mafhûm mukhâlafah atau dalil al-khithâb, yaitu apabila hukum yang diambil dari lafal itu berkaitan dengan salah satu sifat subyek hukumnya, sehingga hukum tersebut menunjukkan ketentuan lain bagi subyek hukum dengan sifat yang lain, seperti ketika Al-Quran memerintahkan untuk melakukan ceking berita yang disampaikan oleh orang fasik, maka mafhum mukhâlafah-nya adalah bila berita itu datang dari orang yang adil tidak perlu diragukan dan diceking sedemikian rupa.

Penutup

Pembahasan hukum dalam kitab-kitab syarah Hadits, khususnya syarah al-kutub al-sittah, pada umumnya memiliki corak pemikiran hukum sesuai dengan madzhab penulisnya, karena setiap penulis kitab syarah Hadits akan menggali kandungan hukum dalam Hadits-Hadits yang mereka syarah berdasarkan pola ijtihad madzhabnya. Mengingat ushul fiqh dalam satu madzhab berbeda dengan ushul fiqh di madzhab lain, maka dipastikan aplikasi kaidah qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah dalam syarah Hadits berbeda-beda. Adapun prinsip umumnya, bahwa kaidah qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah merupakan bagian dari al-qawa`id al-ushûliyyah yang aplikasinya dalam mensyarah Hadits memerlukan sejumlah ilmu pendukung, yaitu ilmu Hadits dirayah dan riwayah, ilmu-ilmu bahasa Arab (funûn al-`arabiyyah), dan ushul fiqh. Hadits-Hadits yang qath`iyy al-wurûd menurut ulama Hanafiyyah hanya Hadits mutawatir, sedangkan Hadits ahad sama sekali tidak demikian. Hal itu berbeda dalam madzhab lainnya. (yrt)

 

Catatan Kaki

[1]Yang dimaksudkan dengan teori qath`iyyah al-wurûd wa al-dilâlah adalah teori mengenai kondisi suatu dalil ditinjau dari aspek wurûd (otentisitasnya) dan dilâlah (makna lafal dan petunjuk kalimatnya). Secara sederhana dapat digambarkan hasil kajian teori ini bahwa suatu dalil yang dapat dipastikan otentik, maka ia disebut qath`iyy al-wurûd. Sedangkan dalil yang diduga otentik, disebut zhanniyy al-wurûd. Dalil yang makna dan petunjuknya tegas disebut qath`iyy al-dilâlah, sedangkan dalil yang makna dan petunjuknya dapat memberikan beberapa pemahaman, disebut zhanniy al-dilâlah.

[2]Ungkapan qath`iyy al-wurûd dan zhanniy al-wurûd serta qath`iyy al-dilâlah dan zhanniyy al-dilâlah merupakan istilah di kalangan ulama ushul fiqh. Klasifikasi ini ditetapkan berdasarkan keshahihan dan jumlah sanad Hadits. Hadits qath`iyy al-wurûd adalah Hadits mutâwatir dan Hadits shahih yang masyhûr. Mayoritas ulama, seperti Imam Asy-Syafi`i dan para pendukungnya, memasukkan juga Hadits shahih âhâd. Hadits yang zhanniyy al-wurûd adalah Hadits shahih âhâd dan Hadits hasan. Mayoritas ulama Hadits, memasukkan Hadits dha`if yang tidak terlalu dha`if sebagai Hadits yang zhanniyy al-wurûd. Sedangkan Hadits dha’if yang sampai pada tahap mencurigakan adanya kepalsuan perlu dikelompokkan dalam kategori syakkiyy al-wurûd. Klasifikasi qath`iyy al-dilâlah dan zhanniyy al-dilâlah ditetapkan berdasarkan kajian ilmu dilâlah. Hadits yang qath`iyy al-dilâlah adalah Hadits yang redaksinya termasuk kategori kalimat nashsh, mufassar, atau muhkam. dan tidak terdapat faktor eksternal yang menghalangi ke-qath`iyy al-dilâlah-annya. Sedangkan Hadits yang petunjuk redaksinya termasuk dalam kategori kalimat zhâhir, khafiy, musykil, mujmal, dan mutasyâbih disebut sebagai Hadits yang petunjuknya hanya zhanniyy al-dilâlah. Hal itu semua apabila tidak terdapat faktor eksternal yang menghalangi ke-qath`iyy al-dilâlah-an dan ke-zhanniyy al-dilâlah-annya.

[3] Perbedaan pendapat ini antara lain dapat dilihat berkenaan dengan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum pengamalan Hadits dha`if. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama yang dipelopori oleh Al-Bukhari menyatakan sama sekali tidak dapat diamalkan, kelompok kedua yang dipelopori oleh Ibn Hajar Al-Asqalani menyatakan boleh diamalkan apabila berkenaan dengan fadha’il al-a`mal dan tidak terlalu dha`if, dan kelompok ketiga yang dipelopori oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Dawud menyatakan wajib mengamalkan Hadits dha`if apabila tidak ada Hadits shahih yang membahas tema yang bersangkutan. Lihat antara lain Nuruddin `Itr, Manhaj al-Naqdfî `Ulûm al-Hadits.

[4] Di antara masalah dalam kategori ini adalah tentang hukum tinggal di masjid dan membaca Al-Quran bagi wanita yang sedang haid. Hadits yang secara tegas mengharamkan masuk dan menetap di masjid bagi orang haid adalah riwayat Abu Dawud dari A’isyah r.a. dan riwayat Ibnu Majah dari Ummu Salamah dan keduanya melalui Jasrah dengan redaksi dan konteks yang berbeda, tapi qath`iyy al-dilâlah, hanya saja tidak mencapai kriteria qath`iyy al-wurûd, melainkan syakkiy al-wurûd. Fuqaha Syafi`iyyah memandang bahwa wanita haid lebih kotor daripada orang junub, sehingga ia lebih haram tinggal di masjid dan membaca Al-Quran daripada orang junub dan karenanya mereka mengamalkan sepenuhnya Hadits tersebut. Sementara fuqaha Malikiyyah memandang bahwa wanita haid berbeda dengan orang junub, karena orang junub bisa menyegerakan mandi untuk membaca Al-Quran dan menetap di masjid, sedangkan wanita haid harus menunggu hingga haidnya tuntas, sementara boleh jadi kedua hal tersebut merupakan tindakan yang tidak bisa ditinggalkan.

[5] Hal ini ditegaskan antara lain oleh Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli Hadits sekaligus pendiri mazhab Hanbali. Ia dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa tidak seluruh Hadits dalam kitab Musnad-nya sanadnya shahih, tapi menurutnya matannya shahih atau dapat dipedomani.

[6]Kasyf al-Asrar, VI, hlm. 202.

[7]Kasyf al-Asrâr, I, hlm. 226.

[8] Nuruddin `Itr, Manhaj al-Naqd fi `Ulûm al-Hadîts, Dar al-Fikr, Damaskus, 1988, hlm. 291-296.

[9] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, t.t., 1981, hlm. 129; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafa’is, Beirut, 1986, hlm. 327. Ta’wil adalah memahami suatu lafal berdasarkan kepada salah satu maknanya yang jauh dengan meninggalkan makna yang paling dikenal.

[10] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, hlm. 135; Al-Bazdawi, Ushûl al-Bazdawi, I, hlm 52 dikutip dari Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Hlm. 344. Sementara Al-Sarkhasi dalam Ushul al-Sarkhasi, I, hlm. 176, menyatakan bahwa faktor penghalang itu berada dalam redaksi kalimat yang bersangkutan.

[11]Takhshish secara sederhana berarti pengkhususan makna pada sebagian satuan-satuan yang tercakup dalam suatu kata dengan mengecualikan satuan yang lainnya.

[12] Indikasi qath`iyyat dilâlat al-lafzhi adalah apabila pengertian yang ditunjuk oleh lafal tersebut tidak dapat ditafsirkan kepda arti yang di luar artinya yang semula. Lihat Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, hlm. 56.

[13] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, hlm. 129, 135; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 329, 347; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, hlm. 287.

[14] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 347 mengemukakan salah satu contoh kemunykilan jenis ini dengan mengutip firman Allah, “qawârîra min fidhdhah” (gelas-gelas dari perak –QS Al-Insan: 16), padahal lazimnya gelas terbuat dari kaca.

[15] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 350.

[16] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, hlm. 129, 135.

[17] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 332, 352. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa lafal mujmal ada tiga macam, 1) Lafal mujmal yang tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari dan tidak diketahui maknanya sebelum ditafsirkan, seperti lafal “halû`” (berkeluh kesah); 2) Lafal yang dalam bahasa sehari-hari diketahui maknanya, namun bukan makna sehari-hari itu yang dikehendaki, seperti “riba, shalat, dan zakat”; dan 3) Lafal yang diketahui maknanya dalam bahasa sehari-hari, namun maknanya banyak dan hanya salah satunya yang dikehendaki.

[18] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 354.

[19] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, hlm. 290.

[20] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, hlm. 129; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 335; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, hlm. 281.

[21] Banyak ulama salaf memahami lafal mutasyabih sebagai lafal yang mustahil diketahui makna yang dimaksudkan dan harus disikapi dengan tawaqquf dengan tidak melakukan ta’wil. Lihat Syaikh Muhammad Al-Khudhari, hlm. 135; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 355. Namun, baik Al-Quran maupun Hadits, tidak menutup kesempatan sedemikian rupa. Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui ta’wil lafal-lafal mutasyabihat (QS Ali Imran: 7). Rasulullah Saw. juga menyatakan bahwa di antara halal dan  haram terdapat hukum musytabihat, semakna dengan mutasyabihat, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia (HR. Jama`ah). Hal ini menunjukkan bahwa dengan upaya yang maksimal dan dengan bekal keilmuan tertentu, seseorang dapat mengetahui makna yang dimaksud dari lafal yang mutasyabih tersebut dalam batas kemampuan nalar manusia.

[22]Ushûl al-istinbâth adalah prinsip-prinsip pengambilan makna inti dan kesimpulan hukum dari ayat Al-Quran, Hadits, maupun dalil-dalil lain, atau prinsip-prinsip pengambilan hukum secara deduktif. Ushûl al-tafsîr adalah prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan Hadits serta pengembangannya. Ushûl al-istidlâl adalah prinsip-prinsip pengambilan hukum secara induktif. Sedangkan ushûl al-tasyrî` adalah prinsip-prinsip penetapan dan penerapan hukum syari`ah serta penuangannya dalam kitab-kitab hukum atau undang-undang.

[23] Muhammad Al-Khudhari, hlm. 118-123; Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syairazi Al-Fairuzabadi Al-Syafi`i, Al-Luma` fî Ushûl al-Fiqh, Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Ahmad bin Sa`d bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, t.t., Hlm. 24.

[24] Muhammad Al-Khudhari, hlm. 118-123; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, hlm. 362-374.

 

Daftar Bacaan

Abadi, Muhammad Syamsul Haqq Al-`Azhim, `Awn al-Ma`bâd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1979.

Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-, Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ri’asat Idarat al-Buhuts Al-`Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa Al-Da`wah, Saudi Arabia, t.t.

Asyqar, Muhammad Sulaiman Al-, Af`al al-Rasul Saw. wa Dilalatuha `ala al-Ahkam al-Syar`iyyah, Al-Manar Al-Islamiyyah, Kuwait, 1878.

Busti, Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad Al-Khaththabi Al-, Ma`alim al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Al-Maktabah Al-`Ilmiyyah, Beirut, 1981.

Ghazali, Abu Hamid Al-, Al-Mustashfa, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, 1413 H.

Ghazali, Muhammad, Kritik Atas Hadits Nabi Saw., Mizan, Bandung, Cet. II Th. 1992.

Ibn Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim, Ta’wîl Mukhtalif al-Hadîts, Dar al-Jil, Beirut, 1972.

Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya Al-, Aujaz al-Masalik, Dar al-Fikr, Beirut, 1989.

Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafa’is, Beirut, 1986.

Khan, Muhammad Mushthafa Sa`id al- (et.al.), Nuz-hat al-Muttaqîn Syarh Risyâdh al-Shalihîn Min Kalâm Sayyid al-Mursalîn, Mu’assasah Al-Risalah, Beirut, 1993.

Khudhari, Muhammad Al-, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Cet. VII, 1981.

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta, Teraju, 2003.

Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’ân (Terj. Mathori Al-Wustho, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar-dasar Epistemologi Qur’ani), Nuansa Cendekia, Bandung, Cet. I, 2004.

Syuhudi, Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma`ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. I, 1994.

Maliki, Al-Hafizh Ibn al-`Arabi Al, `Aridhat al-Ahwadzi bi Syarh Shahih Al-Turmudzi, Dar al-Fikr, t.t.

Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-, Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi` al-Turmudzi, Dar al-Fikr, t.t.

Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta, 1999.

Muhammad A. Khalafullah, Al-Fann al-Qashashy fî al-Qur’ân al-Karîm, Paramadina, Jakarta, Cet. I, 2002.

Muhammad Abdul `Athi Muhammad Ali, Mabâhits al-Ushûliyyah fî Taqsîmât al-Alfâzh, Dar al-Hadits, Kairo, 2007.

Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, t.t.

Nuruddin `Itr, Fî Zhilâl al-Hadîts al-Nabawi: Dirasast Fikriyyah Ijtima`iyyah wa Adabiyyah Jamaliyyah Mu`ashirah, t.p., 2000.

Qardhawi, Yusuf Al-, Kaifa Nata`âmalu ma`a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma`âlim wa Dhawâbith (Terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw.), Karisma Bandung, 1993

Syirazi, Shadruddin Muhammad bin Ibrahim Al- (Mulla Shadra), Syarh Ushûl al-Kâfi, Mu’assasah Muthâla`ât wa Tahqîqât Frinky, Teheran, 1344.

Syawkaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar Tahqiq Shidqi Muhammad Jamil al-`Aththar, Dar al-Fikr, Lebanon, 1994

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *