Jumat, 26-04-2024
  • [] Berkhidmat pada Sunnah Nabawiyyah sesuai Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah [] "Ketahuilah bahwa ilmu yang tidak menjauhkanmu dari maksiat dan mendorongmu untuk beribadah pada hari ini, tidak akan bisa menjauhkanmu dari api neraka esok hari." (Imam al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad)

PENYAMBUTAN TAHUN BARU HIJRIAH, BID’AH?

Diterbitkan : - Kategori : Fikih

Keistimewaan Bulan Muharram

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “Syahrullah“, yaitu bulan Allah. Ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

Rasulullah SAW bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram.” (Q.S. at-Taubah :36).

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakrah, Nabi SAW bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khatthab ra. Tahun Hijriah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad SAW.

Mendudukkan Konsep Bid’ah

Dalam konsep bid’ah, tidak semua perkara baru yang tidak dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah yang sesat. Batasan bid’ah saya ringkas menjadi ada 3 hal, sebagai berikut:

1. Perkara baru yang tidak ada contohnya di zaman Nabi (اختراع / احداث على غير مثال سابق)
2. Perkara baru tersebut bertentangan dengan syariat (مقابل الشرع)
3. Tambahan atau pengurangan tersebut yang menyelesihi syariat (زيادة ونقصان تخالف الشرع)

Tidak semua yang muncul di zaman setelah Nabi SAW adalah buruk. Banyak hal baik yang muncul di kemudian hari. Meskipun pada awalnya ditolak dan diingkari oleh sebagian orang. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, hal-hal baik tersebut semakin dirasakan manfaatnya.

Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani RH mengatakan,

فَمِمَّا حَدَثَ تَدْوِينُ الْحَدِيثِ ثُمَّ تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ ثُمَّ تَدْوِينُ الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ الْمُوَلَّدَةِ عَنِ الرَّأْيِ الْمَحْضِ ثُمَّ تَدْوِينُ مَا يَتَعَلَّقُ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَأَنْكَرَهُ عُمَرُ وَأَبُو مُوسَى وَطَائِفَةٌ وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَكْثَرُونَ وَأَمَّا الثَّانِي فَأَنْكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ كَالشَّعْبِيِّ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَنْكَرَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَطَائِفَةٌ يَسِيرَةٌ وَكَذَا اشْتَدَّ إِنْكَارُ أَحْمَدَ لِلَّذِي بَعْدَهُ

“Termasuk di antara perkara-perkara yang baru muncul adalah:
1. Kodifikasi (pembukuan) hadits.
2. Kodifikasi tafsir al-Quran.
3. Kodifikasi masalah-masalah fiqih yang lahir dari pemikiran semata.
4. Kodifikasi perkara-perkara yang berkaitan dengan hati (tazkiyatun nafs).

Poin no. 1 dulu ditolak oleh Umar (bin Khatthab), Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya. Tapi sebagian besar membolehkan. Sedangkan poin no. 2 dulu ditolak oleh sejumlah ulama Tabiin seperti asy Sya’bi. Sedangkan poin no. 3 dulu ditolak oleh Imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama lainnya. Begitu juga poin-poin setelahnya sangat ditolak oleh Imam Ahmad. (Lihat Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, 13/253)

Semua perkara di atas muncul setelah zaman Nabi SAW. Bukan hanya baik, justru perkara-perkara di atas sangat diperlukan oleh umat Islam yang hidup belakangan.

Imam Syafi’i RH mengatakan,

المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال ، وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة

“Perkara baru itu ada dua macam:
1. Perkara baru yang bertentangan dengan Quran, Sunnah, atsar atau ijma. Ini adalah bid’ah sesat.
2. Perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini perkara baru yang tidak tercela.” (Lihat Imam Baihaqi, Manaqib Imam Syafi’i)

Terkait konsep sunnah dan bid’ah, silahkan merujuk kitab al-Sunnah wa al-Bid’ah yang ditulis oleh Sayyid Abdullah bin Mahfudz bin Muhammad al-Haddad. Beliau mengupas masalah ini dengan sangat jelas.

Jadi selama perkara baru tidak menyelisihi syariat dan masih dalam kerangka dalil umum, maka tidak bisa disebut bid’ah yang sesat, termasuk dalam hal ini adalah penyambutan tahun baru hijriah. Jadi dalam menyambut tahun baru hijriah tidak bisa dihukumi salah secara mutlak. Hukumnya boleh selama tidak ada kegiatan-kegiatan yang melanggar syariat. Bahkan bisa termasuk yang disukai dan bernilai pahala jika dilakukan dengan niat qurbah (mendekatkan diri kepada Allah).

Tidak Boleh Ada Unsur Tasyabbuh yg Diharamkan

Berikut adalah beberapa batasan agar tidak termasuk dalam bentuk tasyabbuh yang diharamkan:

Pertama, tidak boleh merayakan tahun baru hijriah sebagai sebuah hari raya. Hal itu seperti kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari bahwasanya ia berkata: “Hari Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian pada hari Asyura.”. Hadits tersebut bukan perintah agar tidak boleh memanfaatkan momen Muharram, namun kita harus berbeda caranya dengan mereka.

Dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata: “Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, pada waktu itu penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah SAW bertanya: Dua hari ini apa? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari, dimana kami pernah merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikannya dengan yan lebih baik: yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai)

Kedua, tidak boleh menjadikan tanggal 10 Muharram sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh di Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan bahwa hari berkabung nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari pertama bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet badan mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang lain melukai badan mereka dengan rantai.

Ketiga, tidak boleh membuat atau mengikuti ritual yang mengandung unsur kesyirikan. Seperti di suatu tempat ada ritual kirab dan pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka berebut mengambil kotorannya, yang menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah di dalam kehidupan mereka.

Keempat, tidak boleh melakukan penyambutan atau perayaan tahun baru hijriah yang menyelesihi syariat dan menyamai orang kafir. Hal itu seperti menyalakan lilin, meniup terompet, menyalakan kembang api, hura-hura dan membuat pesta khusus. Hal itu selain tiada guna juga termasuk tasyabbuh yang diharamkan. Nabi bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. al-Tirmidzi dan yang lainnya)

Juga,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Adapun berikut ini adalah beberapa aktivitas yang masih dalam cakupan yang dibolehkan oleh syariat berdasarkan dalil umum:

Pertama, menampakkan kebahagiaan (izh-har al-farhah) akan datangnya tahun baru, bersyukur kepada Allah, muhasabah, berdoa dan berdzikir. Berdoa dan muhasabah bisa dilakukan kapan saja, termasuk momen pergantian tahun. Hal ini boleh dilakukan. Bahkan itu merupakan bentuk menyelisihi orang kafir. Jika orang kafir merayakan dengan hura-hura, maka umat Islam dengan muhasabah dan berdoa.

Terkait perintah menyelisihi orang kafir, Nabi SAW beliau bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot, pendekkanlah kumis” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga hadits Nabi yang lain,

خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ

“Selisihilah kaum Yahudi karena sesungguhnya mereka tidak pernah shalat dengan memakai sandal mereka dan tidak pula dengan khuf mereka” (HR. Abu Dawud).

Kedua, melakukan berbagai kebaikan dengan meniatkan untuk qurbah (mendekatkan diri pada Allah) dan syi’ar agama. Misalnya pawai dalam rangka izh-harul farhah (menampakkan kebahagiaan), tabligh akbar untuk mengenang momen hijrah Nabi dan shahabat, dan muhasabah akhir-awal tahun.

Syaikh Wahbah Az-Zuhailiy di dalam al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (hlm. 166-167) menyebutkan kaidah masyhur dari pengarang kitab al-Ubab dalam madzhab Syafi’i,

للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة

“Sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah.”

Pawai dan tabligh akbar misalnya, selain sebagai bentuk kebahagiaan bagi seorang muslim, hal itu juga bernilai qurbah, yakni dalam rangka meninggikan syiar Islam. Tidak diragukan lagi bahwa pengajian, tabligh akbar, berdoa, muhasabah, menyiarkan Islam, dll., adalah kebaikan, kapanpun dilakukannya, termasuk momen 1 Muharram.

Pada bagian berikutnya saya akan terangkan terkait makna dan refleksi hijrah saat ini.

Muharram dan Renungan Hijrah

Nabi SAW bersabda,

كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ

Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia. (HR. Al-Bukhari).

Beberapa poin penting:

Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara darul Islam dan darul kufur.

Kedua, tonggak berdirinya daulah Islamiah untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarawan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi SAW telah berubah dari hanya sebuah kota menjadi sebuah negara Islam.

Ketiga, awal kebangkitan Islam dan kaum muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya.

Di sebagian riwayat, peristiwa hijrah terjadi pada Jumat 12 Rabiul Awal 1 H, dimana pada hari itu rombongan Nabi SAW sampai di Madinah. Hal itu setelah Rasul SAW mendapat nushrah (pertolongan) dari penduduk Madinah, yakni setelah Baiat Aqabah II—dikenal sebagai baiat atas pemerintahan–, Madinah menjadi dar al-Islam secara de jure. Pasca-Rasulullah SAW wafat, pada tahun 638 M (17 H), khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal pijakan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah

Adapun makna hijrah seraha syar’i adalah,

قَالَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ الْهِجْرَةُ هِيَ الْخُرُوجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إلَى دَارِ الْإِسْلَامِ (سبل السلام ج.6 ص.128. نيل الأوطار ج.12 ص. 270. المجموع ج. 19 ص. 264(

Ibnu ‘Arabi berkata hijrah adalah keluar atau berpindah dari dari Negara yang diperangi/negara kufur ke negara Islam. (Subul al-Salam, juz 6, hlm. 128 dan Nail al-Authar, juz 12, hlm 270).

Maka, refleksi hijrah saat ini adalah:
1. Meninggalkan kekufuran dan dominasi kaum kafir menuju iman dan kekuasaan Islam; meninggalkan darul kufur menuju darul Islam; meninggalkan sistem jahiliyah menuju ideologi dan sistem syariah; meninggalkan kekalahan menuju kemenangan dan kemuliaan Islam; dan mengubah penindasan menjadi tebaran kerahmatan.
2. Seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, hijrah merupakan bagian integral dari ketaqwaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Sebab, hijrah merupakan instrumen hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama dan jiwa kaum Muslim dari ancaman musuh-musuhnya.
3. Atas dasar itu, aktualisasi hijrah dalam konteks sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam ranah individu, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, aktualisasi hijrah sekarang harus diwujudkan dengan cara berjuang menegakkan kembali kekuasaan Islam yang akan menjamin terlaksananya hukum hijrah itu sendiri.

Jadi kegiatan penyambutan 1 Muharram yang ditujukkan untuk mengingatkan kewajiban agung tersebut dan menyemangati kaum muslim akan sebuah aktivitas besar yang sudah pernah dicontohkan oleh Nabi dan shahabat beliau, adalah sebuah kebaikan yang juga besar.

Semoga Allah menghimpun kita dengan mereka semua, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya,

Dalilnya adalah sabda beliau SAW,

المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Seorang itu beserta orang yang dicintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud)

Dalam riwayat lain,

وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ

“Seseorang tidak akan mencintai suatu kaum kecuali akan dikumpulkan bersama mereka.” (HR. Thabarani, dari Ali)

Penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 10/555:

قَوْلُهُ : (إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ) أَيْ: مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وبهذا يندفعُ إيراد أنَّ منازلهم متفاوتةٌ، فكيف تصحُّ المعيةُ؟! فيُقالُ إنَّ المعيةَ تحصلُ بمجرد الاجتماع في شيءٍ ما، ولا تلزمُ في جميع الأشياء، فإذا اتَّفقَ أنَّ الجميعَ دخلوا الجنةَ صدَقَتِ المعيةُ، وإنْ تفاوتَتِ الدرجاتُ)

Kalimat “Engkau bersama orang yang kamu cintai” maksudnya dipertemukan dengan mereka sehingga kamu menjadi golongan mereka.

Demikian, semoga bermanfaat.

[Yuana Ryan Tresna]

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan